Di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat, kita, sebagai masyarakat ekonomi, mengamati dengan saksama bagaimana Rupiah berusaha keras untuk mempertahankan kestabilannya di hadapan Dolar Amerika Serikat yang semakin perkasa. Para ekonom di seluruh negeri telah menyampaikan pandangan mereka tentang langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) yang kami nilai sangat tepat dalam mengatasi situasi ini.
Menurut Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, “Kebijakan BI bertujuan untuk smoothing the volatility, karena apa yang dilakukan BI tidak seperti menggarami air laut.” Beliau menambahkan bahwa meskipun BI telah meningkatkan BI Rate menjadi 6,25%, tidak diharapkan adanya perubahan mendadak pada nilai tukar dolar yang bisa turun di bawah Rp 16.000 segera. Faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga The Fed dan data inflasi Amerika yang dirilis baru-baru ini, telah memberikan tekanan tambahan terhadap Rupiah.
Lebih lanjut, Josua menggarisbawahi bahwa ketidakstabilan politik di Timur Tengah dan gejolak politik di Prancis telah berkontribusi pada penguatan Dolar. “Sejauh ini triple intervention yang dilakukan BI saya pikir sudah optimal, karena kalau kita bicara volatilitasnya tidak terlalu besar berdampak pada depresiasi Rupiah, bahkan depresiasinya lebih rendah dari Baht Thailand, Peso Filipina dan Dolar Taiwan,” tuturnya.
Triple intervention yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan oleh BI pada Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar spot, hingga pasar Surat Berharga Negara (SBN). Langkah ini diakui juga oleh Branko Windoe, Senior Executive Vice President Treasury & International BCA, yang menyatakan bahwa langkah BI sudah tepat. Namun, Branko menekankan bahwa menjaga nilai tukar mata uang tidak hanya bisa bergantung pada intervensi moneter.
Branko berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah memikirkan cara melakukan substitusi impor, mengingat industri dalam negeri masih sangat bergantung pada impor, sehingga fluktuasi nilai tukar langsung berdampak pada ekonomi domestik.
Sementara itu, Profesor Telisa Aulia Falianty dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menambahkan bahwa peningkatan BI Rate telah berhasil mengembalikan aliran modal ke dalam negeri. “Namun trend pelemahan kembali terjadi seiring masih terjadinya flight to quality dan kuatnya Treasury Bond serta Treasury Bill Amerika Serikat sebagai safe heaven dan kuatnya para kompetitor kita seperti India, Amerika Latin, China dalam menarik inflow,” ungkapnya.
Melalui analisis ini, kami berharap dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada kalian mengenai dinamika ekonomi yang sedang berlangsung, serta mengambil pelajaran untuk bersiap dan berwaspada terhadap perubahan yang mungkin terjadi kedepannya.