Kita perlu memperhatikan fenomena ekonomi yang saat ini mengguncang Indonesia, yaitu meningkatnya aktivitas judi online atau sering disebut “judol.” Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa semakin maraknya judol berkontribusi dalam menurunkan daya beli masyarakat untuk kebutuhan konsumsi yang lebih produktif.
“Saya tidak memungkiri ada indikasi-indikasi yang perlu kita waspadai, makanya saya sampaikan agar kita tetap waspada. Belum lagi dengan adanya judol yang bisa mengurangi daya beli karena tersedot untuk aktivitas yang tidak menambah konsumsi produktif dan justru hilang di sana,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, dikutip Kamis (14/11/2024).
Yusuf Rendy Manilet, seorang ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, juga mengatakan bahwa judol memang bisa menjadi salah satu penyebab menurunnya konsumsi produktif masyarakat. Apalagi jika kita lihat nilai transaksi judol yang terus meningkat dan mencapai ratusan triliun rupiah pada tahun 2024.
Data dari Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa pada Semester I-2024 saja, angka perputaran transaksi judi online sudah mencapai Rp 174 triliun. Dan sekarang, di Semester II-2024, angkanya semakin melonjak hingga mencapai Rp 283 triliun.
“Uang tersebut seharusnya, jika tidak digunakan untuk judol, bisa digunakan untuk konsumsi produktif atau ditabung yang nantinya bisa bermanfaat untuk kebutuhan yang lebih penting,” ujar Manilet.
Namun, Manilet juga menekankan bahwa menyalahkan judi online sebagai satu-satunya penyebab menurunnya daya beli masyarakat adalah sebuah kesalahan, karena ada banyak faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi ini.
Seperti yang kita ketahui, daya beli masyarakat Indonesia yang tertekan saat ini menyebabkan tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024 menurun di bawah 5%. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi, dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 53,08%. Pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada kuartal II-2024 yang sebesar 4,93%.
Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya mencapai 4,95%, lebih rendah dibandingkan kuartal II-2024 yang sebesar 5,11% dan kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05%, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Penurunan daya beli ini sebenarnya merupakan fenomena multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,” lanjut Manilet.
Ia menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi ketimpangan pendapatan di Indonesia, peningkatan upah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan laju inflasi, serta terbatasnya pekerjaan di sektor formal yang membuat banyak masyarakat rentan terhadap gejolak ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba.
Selain itu, pelemahan pendapatan masyarakat juga terlihat dari banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa bulan terakhir. Penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB juga menjadi indikasi adanya deindustrialisasi dini di Indonesia, ditambah lagi dengan tingginya ketimpangan antara kelompok pendapatan.
“Jadi, saya kira penyebab penurunan daya beli tidak semata-mata hanya karena judi online saja,” tegasnya.
Dengan demikian, kita perlu melihat fenomena ini secara lebih komprehensif, bukan hanya fokus pada satu penyebab saja. Mari tetap waspada dan bijak dalam mengelola keuangan kita, serta selalu berusaha memanfaatkan pendapatan untuk hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat.